FILSAFAT FARMASI
SEJARAH DAN FILSAFAT FARMASI
Berbagai konsep dasar dan teori dalam ilmu fisiologi, patologi,
farmakologi, farmakognosi, fitokimia, kimia analisis, kimia sintesis,
kimia medisinal, farmasetika/formulasi obat dapat ditemukan pada tiap
jaman dalam sejarah perkembangan kefarmasian. Mitologi, konsep dan
praktek pengobatan, praktisi/profesi pengobatan, bentuk sediaan obat
serta bahan obat di berbagai jaman atau di suatu kebudayaan tertentu
ternyata tidak hanya mendasari dan mempengaruhi perkembangan ilmu
kefarmasian dan ilmu kedokteran saat ini; namun juga mendasari dan
mempengaruhi perkembangan ilmu pengobatan tradisional di suatu suku
bangsa tertentu, bahkan beberapa konsep dasar masih dipakai dalam sistem
pengobatan tersebut.
Pada pokok bahasan kali ini akan dijelaskan berbagai pemikiran
filosofis, berbagai aspek dan perkembangan ilmu kefarmasian berdasarkan
urutan sejarah yang dimulai dari jaman pra sejarah, jaman
Babylonia-Assyria, jaman Mesir kuno, jaman Yunani kuno dan jaman abad
pertengahan.
1 Falsafah Obat dan Pengobatan
Semenjak dunia terkembang dan dihuni oleh manusia serta makhluk hidup
lainnya mungkin sudah ada penyakit dan usaha untuk mengobatinya. Keadaan
“sehat” dan “sakit” adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan; ini
berlaku bagi semua makhluk hidup : di dunia insani, dunia hewani maupun
di dunia tumbuh-tumbuhan sekalipun1. Bagi makhluk hidup, mengobati
suatu penyakit atau gangguan adakalanya merupakan salah satu usaha
untuk mempertahankan eksistensinya. Di dunia tumbuh-tumbuhan dikenal
suatu produk metabolisme selain produk metabolisme utama yang disebut
sebagai metabolit sekunder. Beberapa contoh metabolit sekunder misalnya
: alkaloida, glikosida, terpenoid, flavonoid dan lain sebagainya
merupakan racun bagi makhluk lainnya2. Seekor binatang yang sehat tidak
akan memakan daun oleander yang mengandung glikosida yang berbahaya
bagi jantung, juga tidak akan ada yang memakan daun kecubung yang
mengandung alkaloida golongan tropan yang bekerja sebagai
antikolinergik/parasimpatolitik yang sangat beracun. Umumnya tumbuhan
yang mengandung zat beracun tersebut tidak akan mendapat gangguan dari
binatang, karena secara naluriah akan dihindarinya1.
Sekarang bagaimana dengan seekor binatang yang sakit? Secara naluriah
seekor binatang yang sakit akan mencari sesuatu dari alam sekelilingnya
demi untuk mempertahankan hidupnya. Cukup sering dilihat seekor anjing
atau kucing mencari rerumputan atau daun-daunan tertentu; yang memiliki
efek memabukkan/membunuh cacing dan sekaligus
mengeluarkan/memuntahkannya dari saluran pencernaannya. Dengan demikian
ia “mengobati dirinya sendiri” dengan mensuplai tubuhnya dengan
bahan/zat/hara yang diperlukannya. Sebagai ilustrasi dari mempertahankan
eksistensi atau keturunan ialah ayam petelur yang lepas (bukan ayam
broiler) mematuk atau mencukil dinding tembok untuk mendapatkan zat
kapur yang diperlukan untuk pembentukan kulit telur. Kekurangan akan zat
kapur disuplainya secara naluriah1.
Bagaimana keadaannya dengan manusia?Yang membedakan manusia dengan hewan
adalah “akal”. Akan tetapi, manusia purba dan manusia yang masih hidup
primitif (dimana akal masih kurang berkembang) eksistensinya hidupnya
juga masih banyak dipengaruhi oleh nalurinya. Bagaimana keadaannya
dengan manusia primitif yang sakit atau kekurangan akan suatu zat/hara
dalam sistem faalnya? Contoh berikut dapat memberikan suatu gambaran :
suatu suku bangsa primitif mempunyai kebiasaan memakan tanah. Mulanya
hal ini mengherankan, tetapi setelah diadakan penelitian lebih mendalam
ternyata ada dua hal yang berkaitan : pertama, tanah yang dimakan
banyak mengandung zat besi (Fe); kedua, diit sehari-hari suku tersebut
kurang akan zat besi. Secara naluriah suku itu mencari zat besi dari
tanah, sehingga mereka tidak akan menderita penyakit anemia karena
kekurangan zat besi.
2 Farmasi Jaman Pra Sejarah
Diantara beberapa karakteristik yang unik dari Homo sapiens adalah
kemampuannya untuk mengatasi penyakit, baik fisik maupun mental dengan
menggunakan obat-obatan. Dari bukti arkeologi didapatkan bahwa pencarian
terhadap obat-obatan setua pencarian manusia terhadap peralatan lain.
Seperti halnya bebatuan yang digunakan untuk pisau dan kapak,
obat-obatan pun jarang sekali tersedia dalam bentuk siap pakai.
Bahan-bahan obat tersebut harus dikumpulkan, diproses dan disiapkan;
kemudian digabungkan menjadi satu untuk digunakan dalam pengobatan.
Aktivitas ini, telah dilakukan jauh sebelum sejarah manusia dimulai dan
sampai sekarang tetap menjadi fokus utama praktek kefarmasian3.
Manusia purba belajar dari insting atau naluri, dengan melakukan
pengamatan terhadap hewan. Pertama kali mereka menggunakan air dingin,
sehelai daun, debu, bahkan lumpur untuk pengobatan4. Naluri untuk
menghilangkan rasa sakit pada luka dengan merendamnya dalam air dingin
atau menempelkan daun segar pada luka tersebut atau menutupinya dengan
lumpur, hanya berdasarkan kepercayaan. Manusia purba belajar dari
pengalaman dan mendapatkan cara pengobatan yang satu lebih efektif dari
yang lain. Dari sinilah permulaan terapi dengan obat dimulai. Mereka
menularkan pengetahuan ini kepada sesamanya. Walupun metode yang mereka
gunakan masih kasar, akan tetapi banyak sekali obat-obatan yang ada
saat ini diperoleh dari sumbernya dengan metode sederhana dan mendasar
seperti yang telah mereka lakukan.
3 Farmasi Jaman Babylonia-Assyria
Pada daerah selatan kerajaan Babylonia (sekarang Iraq), bangsa Sumeria
telah mengembangkan sistem tulis-menulis sekitar tahun 3000 SM sehingga
mereka telah memasuki periode sejarah. Bangsa Babylonia melakukan
observasi terhadap planet-planet dan bintang-bintang yang mendasari ilmu
astronomi dan astrologi saat ini. Kedudukan dan gerakan
bintang-bintang diduga mempengaruhi kejadian di bumi. Kepercayaan ini
kemudian diadopsi oleh ilmu kedokteran dan kefarmasian berikutnya.
Bangsa Sumeria dan pewarisnya yakni bangsa Babylonia dan Assyria telah
meninggalkan ribuan tablet lempung dalam puing-puing peninggalan mereka
sebagai salah satu peninggalan peradaban manusia yang paling berharga.
Sejarah mereka terkubur rapat-rapat dalam tablet lempung tersebut
hingga berabad-abad berikutnya sekelompok sejarahwan berhasil
mengungkap “bagian yang hilang” dari catatan-catatan kuno ini.
Dari penelitian terhadap catatan-catatan kuno tersebut disebutkan 3
aspek yang paling berpengaruh dalam ilmu pengobatan Babylonia-Assyria
yakni : ketuhanan (divination), pengusiran roh jahat/setan (excorcism)
dan penggunaan obat-obatan. Tiga aspek tersebut merupakan satu-kesatuan
yang sulit untuk dipisahkan. Penyakit adalah kutukan atau hukuman
Tuhan, sedangkan pengobatan adalah pembersihan/pensucian dari kedua hal
tersebut. Konsep tersebut dikenal sebagai katarsis (catharsis). Konsep
ini menjelaskan makna asli kata “pharmakon” (Yunani), yang merupakan
asal kata pharmacy (farmasi). Konsep pharmakon dijelaskan sebagai
berbagai usaha penyembuhan atau pensucian dengan cara mengeluarkan atau
membersihkan. Yang menarik, di dalam farmakologi (ilmu tentang obat dan
mekanisme kerjanya) dikenal obat katartik atau pencahar, yakni obat
yang bekerja meningkatkan motilitas kolon (usus besar) sehingga
meningkatkan pengeluaran tinja (feses).
Para pendeta di masa itu berperan sebagai rohaniwan (diviner) dan
pengusir setan, yang mendukung peran mereka sebagai penyembuh/dokter.
Dalam literatur lain disebutkan bahwa terdapat pemisahan profesi
penyembuh di antara bangsa Babylonia, yakni penyembuh empiris dan
penyembuh yang spiritualis. Penyembuh spiritualis dikenal sebagai asipu,
yang menekankan pada penggunaan mantra/doa-doa bersama dengan
batu-batu bertuah/jimat-jimat dalam pengobatan.
Pada salah satu tablet lempung tercatat adanya mantra/doa yang tertulis
di awal dan di akhir suatu formula obat. Mantra/doa tersebut diharapkan
memberi kekuatan menyembuhkan kepada obat-obatan yang telah dibuat.
Fenomena ini mungkin masih sering dijumpai di berbagai pengobatan
tradisional atau pengobatan alternatif bangsa kita. Penyembuh empiris
dikenal sebagai asu, yang menggunakan obat/ramuan tertentu dalam bentuk
sediaan farmasi yang sekarang masih digunakan seperti : pil,
supositoria, enema, bilasan, dan salep. Kedua penyembuh tersebut
seringkali bekerjasama dalam menangani penyakit yang berat/sulit
disembuhkan. Selain kedua penyembuh tersebut terdapat sekelompok orang
yang juga meracik obat dan kosmetik yang disebut pasisu. Akan tetapi
peranan dan kedudukan mereka dalam pengobatan belum diketahui secara
pasti.
Obat-obatan
R. Campbell Thompson mendapatkan ratusan tablet lempung dari hasil
penggalian perpustakaan raja Assurbanipal dari Assyria. Thompson telah
berhasil mengidentifikasi 250 tanaman obat dan 120 obat-obat mineral,
juga minuman beralkohol, lemak dan minyak, bagian tubuh hewan, madu,
lilin, serta berbagai susu yang digunakan dalam pengobatan. Bahkan juga
dikenal penggunaan kotoran (tinja) hewan atau manusia dalam salah satu
metode pengobatan bangsa Babylonia-Assyria. Kotoran tersebut diharapkan
dapat membuat jijik dan mengusir roh jahat yang merasuki tubuh pasien
dengan segera. Tumbuhan obat yang dikenal saat itu misalnya pine
turpentine, styrax, galbanum, hellebore, myrrh, asafoetida, calamus,
ricinus, mentha, opium, glycyrrhyza, mandragora, cannabis, crocus serta
thymus. Sebagian besar tumbuhan tersebut masih digunakan untuk
pengobatan hingga saat ini.
Berbagai bentuk sediaan yang ada meliputi anggur obat, mikstura, salep,
enema, tapel, plester, losio, infusa, dekok dan fumigan. Pada catatan
kefarmasian yang tertua (ditulis oleh bangsa Sumeria 4000 tahun yang
lalu) terdapat berbagai macam formula obat, dimana komposisinya ditulis
tidak kuantitatif sebagai berikut :
“Haluskan biji carpenter, gom resin markasi dan thymi; larutkan dalam bir untuk diminum”.
Hal ini cukup mengherankan mengingat mereka adalah penemu sistem
pengukuran dan penimbangan yang memberikan kontribusi berharga kepada
peradaban manusia.
Jimat, mantra dan sihir menjadi bagian dari kebudayaan bangsa
Mesopotamia. Seperti yang telah diuraikan, pada salah satu formula obat
terdapat tulisan mantra/doa yang memberikan kekuatan menyembuhkan
kepada obat yang dibuat. Bahan-bahan tertentu untuk membuat obat
tersebut mungkin saja telah memiliki kekuatan menyembuhkan walaupun
tanpa intervensi para pendeta melalui mantra atau doa-doa mereka yang
sekarang kita kenal sebagai bahan yang aktif secara farmakologi. Namun
demikian ada dua hal yang diwariskan kepada kita; yang pertama adalah
pengetahuan tentang bahan-bahan tertentu yang memiliki kekuatan
“supernatural” (terutama tumbuhan obat) dan yang kedua adalah konsep
mempengaruhi fungsi tubuh dengan menggunakan bahan-bahan (obat)
tersebut, yang sekarang dikenal sebagai farmakoterapi.
Mitologi dan Seni Pengobatan
Dewa Ea dan Gula adalah dewa-dewa bangsa Babylonia-Assyria yang paling
sering disebut dalam mantra-mantra yang terdapat dalam formula-formula
obat. Dewa pengobatan yakni Ninazu, adalah pelindung para
penyembuh/pendeta. Sedangkan putranya yakni Ningischzida adalah nabi
mereka. Suatu hal yang cukup menarik adalah simbol kedua dewa tersebut
adalah tongkat dan ular, yang mengingatkan simbol ilmu kedokteran modern
yang diadopsi dari bangsa Yunani ratusan tahun kemudian.
4 Farmasi Jaman Mesir Kuno
Piramida yang masih berdiri dengan kokoh hingga saat ini merupakan bukti
kekuatan dan kejayaan bangsa Mesir selain pembalseman mayat-mayat
(mumi), lukisan dinding dan harta benda di kompleks-kompleks pemakaman.
Bangsa Mesir mencatat kejadian-kejadian pada saat itu atau ide-ide
mereka (misalnya sistem pengairan dan pertanian) dengan menulisnya di
papyrus atau dalam bentuk hyeroglyph mulai tahun 3000 SM, sebelum mereka
mengembangkan peradaban dengan teknologi metalurgi (penempaan logam)
yang maju. Mereka berdagang dan kadang berperang dengan negeri-negeri
sekitarnya di sebelah timur Mediterania dan Afrika.
Seperti halnya di Babylonia, pada catatan peninggalan Mesir menunjukkan
hubungan yang dekat antara penyembuhan supranatural dengan penyembuhan
empiris. Resep/formula obat biasanya diawali dengan doa atau mantra
tertentu. Di dalam formula-formula tersebut disebutkan obat-obat yang
lebih rumit, bentuk sediaan yang lebih banyak dan teknik pembuatan yang
mendetil. Mungkin yang paling terkenal dari catatan yang ada adalah
Ebers Papyrus, suatu kertas bertulisan yang panjangnya 60 kaki dan
lebarnya satu kaki dari abad ke-16 SM. Dokumen ini sekarang berada di
University of Leipzig, untuk mengingat seorang ahli tentang Mesir,
berkebangsaan Jerman, bernama Georg Ebers, yang menemukan dokumen
tersebut di kuburan suatu mumi dan menerjemahkannya sebagian, selama
setengah dari akhir abad ke-19.
Sebagaian besar isi Papirus Ebers adalah formula-formula obat, yang
menguraikan lebih dari 800 formula. Selain itu disebutkan juga sekitar
700 obat-obatan yang berbeda. Obat-obatan tersebut terutama berasal dari
tumbuhan walupun tercatat juga obat-obatan yang berasal dari mineral
dan hewan. Obat-obatan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan sampai sekarang
masih dipakai, antara lain seperti akasia, biji jarak, adas, disebut
bersama-sama dengan yang berasal dari mineral, seperti besi oksida,
natrium bikarbonat, natrium klorida dan sulfur. Kotoran hewan juga
digunakan dalam pengobatan seperti halnya di Babylonia. Dalam literatur
lain disebutkan bahwa psyllium disebutkan dalam Papirus Ebers dan
dikenal sebagai laksatif dan antidiare sekitar tahun 1500 SM. Saat ini
psyllium lebih dikenal dengan nama dagang Metamucil yang sering dijumpai
di apotek.
Bahan pembawa sediaan (vehiculum) yang dipakai adalah bir, anggur, susu
dan madu. Madu dan lilin juga sering digunakan sebagai bahan pengikat
(binders) dalam formula-formula tersebut. Mortir, penggiling tangan,
ayakan dan timbangan biasa digunakan oleh orang Mesir dalam membuat
supositoria, obat kumur, pil, obat hisap, troikisi, lotio, salep mata,
plester dan enema; seperti halnya dalam peracikan obat-obatan (teknologi
farmasi) saat ini.
Berbeda dengan formula-formula bangsa Babylonia yang ditulis secara
kualitatif saja, formula-formula Mesir kuno ditulis secara kuantitatif.
Dikenal satuan ro (1 ro = 15 ml). Selain itu juga ditulis lama
pengobatan (terapi) empat hari yang merupakan lama pengobatan yang umum
di Mesir saat itu, yang mungkin lebih menekankan aspek “sihir”nya
dibanding hasil observasi klinis. Di bawah ini adalah salah satu contoh
formula tersebut :
Formula untuk membersihkan purulensi :
Hyoscyamus 20 ro
Dates 4 ro
Wine 5 ro
Ass’s milk 20 ro
Di rebus, dipekatkan dan diminum selama empat hari
Salinan formula-formula obat disebarluaskan dari satu penyembuh ke
penyembuh lainnya, juga dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kadangkala sebagian obat diambil dari formula aslinya dan dikombinasikan
begitu saja dengan obat-obat lain dari formula yang berbeda.
Kemungkinan besar hal ini merupakan awal munculnya pengobatan yang
disebut dengan “polifarmasi” (poli = banyak, farmasi = obat) yang kelak
diketahui sebagai salah satu metode pengobatan yang tidak rasional.
Mitologi Mesir
Praktek kefarmasian telah dikenal dalam mitologi Mesir. Seperti halnya
di Babylonia, bangsa Mesir juga mengenal dewa-dewa yang berpengaruh
dalam pengobatan seperti Thoth, Osiris, Isis, Horus dan Imhotep. Salah
satu simbol yang menghubungkan praktek kefarmasian saat ini dengan
mitologi kuno adalah simbol Rx, yang dijumpai dalam penulisan resep di
seluruh dunia. Sebagian besar pendapat menyatakan bahwa simbol tersebut
berasal dari simbol mata Horus, dewa elang bangsa Mesir. Horus selalu
mengawasi setiap proses pembuatan obat, sebagai simbol bahwa profesi
farmasis selalu mendapat pengawasan dari Tuhan sehingga setiap pelaku
profesi ini harus selalu bekerja dengan baik, cermat dan jujur karena
Tuhan selalu melihat dan mengawasi mereka.
Horus ditugaskan oleh Isis, ibunya sebagai penjaga balai pengobatan
(house of medicine) para dewa. Sedangkan tugas menjaga bejana
pembalseman diberikan kepada dewa lain, yakni anepu (bangsa Yunani
menyebutnya anubis) yang mungkin dianggap sebagai farmasis para dewa
selain sebagai dewa kematian.
5 Farmasi Jaman Yunani Kuno
Pada milenium berikutnya, akar dari profesi kesehatan di dunia Barat
muncul dan berkembang dari peradaban bangsa Yunani di kepulauan dan laut
Aegea. Bangsa Yunani mendapatkan berbagai stimuli dan pengaruh dari
luar yakni dari Mesopotamia dan Mesir, walaupun jika dibandingkan
terdapat perbedaan yang sangat besar antara obat dan bentuk pengobatan
yang digunakan.
Mitologi Yunani
Dalam mitologi Yunani yang dikenal sebagai dewa pengobatan awalnya
adalah Apollo, yang kemudian digantikan oleh Asklepios (Aesculapius),
setelah Apollo dibunuh oleh Zeus, raja para dewa. Apollo mendapatkan
pengetahuan tentang obat-obatan dari Chiron, bangsa Centaur (manusia
dengan dua tangan dan berbadan kuda, lambang bintang Sagitarius). Dalam
melakukan tugasnya, Asklepios dibantu oleh dua orang putrinya yakni
Hygea dan Panacea. Pada masa itu didirikan balai pengobatan atau
Sanctuary untuk memuja Asklepios dan kedua putrinya. Mereka yang telah
lama mengalami penderitaan akibat penyakit pergi ke kuil dewa Asklepios,
kemudian tidur dengan harapan akan dikunjungi oleh dewa atau putrinya
Hygeia yang membawa ular dan semangkuk obat dalam mimpinya. Ular dan
mangkok tersebut kemudian menjadi simbol farmasi, bahkan telah diadopsi
menjadi simbol ilmu kesehatan. Tongkat Asklepios diadopsi menjadi
simbol kedokteran di seluruh dunia. Selanjutnya, dikenal tumbuhan
Panacea yang dianggap memiliki berbagai khasiat atau dapat menyembuhkan
segala macam penyakit (obat dewa).
Filsafat Yunani dan Pengaruhnya dalam Konsep Kesehatan
Bangsa Yunani adalah bangsa yang pertama kali menguraikan secara
sistematis fenomena di alam dan kedudukan manusia di dalamnya, yang
sekarang dikenal sebagai filsafat. Istilah “philosopher” berasal dari
bahasa Yunani philos (teman) dan sophia ( kebijaksanaan) yang berarti
kebijaksanaan telah terdapat di dalam setiap orang yang berusaha
mencarinya dan kebijaksanaan akan menjadi temannya. Sebagian besar para
filsuf berusaha menjelaskan secara rasional tentang alam dan fenomena
yang terjadi di dalamnya termasuk kaitannya dengan seni pengobatan.
Masalah yang sering dihadapi oleh para filsuf tersebut adalah :
penjelasan rasional apakah yang bisa didapatkan dari asal-usul dunia
dimana manusia hidup di dalamnya dan asal-usul penyakit yang diderita
oleh manusia. Yang paling menarik adalah ide tentang sesuatu yang
esensial dan fundamental di mana segala sesuatu berasal daripadanya.
Berikut ini disenaraikan beberapa filsuf Yunani yang ide dan
pandangannya mempengaruhi konsep kesehatan dan penyakit.
Empedocles (504 SM)
Empedocles mengemukakan ide bahwa ada 4 unsur yang menjadi akar dari
segala sesuatu termasuk tubuh hewan dan manusia yakni : air, udara, api
dan tanah. Teori ini disebut sebagai teori 4 elemen.
Menurut Empedocles dan para pengikutnya sehat merupakan keseimbangan
dari keempat elemen tersebut, sedangkan sakit disebabkan karena
ketidakseimbangan keempat elemen tersebut.
Phytagoras (580-489 SM)
Phytagoras mengemukakan ide bahwa hubungan antara nada dengan lamanya
suatu akor (chord) bervibrasi dapat dinyatakan dalam angka-angka
tertentu. Para pengikut sekte Phytagorean (pengikut Phytagoras)
menghubungkan ide Phytagoras ini dengan angka mistis 7 bangsa
Babylonia-Assyria. Angka 7 (tangga nada do sampai si) dianggap penting
karena menunjukkan adanya hubungan antara 7 planet sebagai simbol 7 dewa
dengan 7 logam yang dikenal saat itu. Diasumsikan bahwa dewa-dewa
mempengaruhi kejadian di bumi termasuk sehat, sakit dan lain sebagainya
melalui planet-planet. Secara bertahap, pengaruh tersebut lebih mengacu
kepada planet-planet itu sendiri, dimana posisi planet-planet tersebut
berhubungan dengan pengaruhnya di bumi. Inilah awal berkembangnya ilmu
astronomi dan astrologi. Dalam kefarmasian bangsa Mesopotamia awal,
astrologi berpengaruh kepada kapan suatu tumbuhan (sebagai bahan obat)
harus dipanen, dan bahkan kapan suatu obat harus diracik.
Hippocrates (460-370 SM)
Hippocrates adalah seorang dokter Yunani yang dihargai karena
memperkenalkan farmasi dan kedokteran secara ilmiah. Dia menerangkan
obat secara rasional, dan menyusun sistematika pengetahuan kedokteran
serta meletakkan pekerjaan kedokteran pada suatu etik yang tinggi.
Pemikirannya tentang etika dan ilmu kedokteran memenuhi tulisan-tulisan
ilmu kedokteran, baik yang ditulisnya sendiri maupun penerusnya. Konsep
dari pandangannya disusun dalam bentuk sumpah Hippocrates, yang
merupakan tata cara dan perilaku untuk profesi kedokteran. Hasil
pekerjaannya termasuk uraian dari ratusan obat-obatan. Sebagai pelopor
dalam ilmu kedokteran dan ajarannya yang memberikan inspirasi serta
falsafahnya yang sudah maju dan merupakan bagian dari ilmu kedokteran
modern, Hippocrates diberi penghargaan yang tinggi dan disebut sebagai
“Bapak Ilmu Kedokteran” 2.
Di dalam korpus (corpus) atau kumpulan naskah Hippocrates terdapat
konsep keseimbangan 4 cairan tubuh (humor) yang menggantikan konsep 4
elemen Empedocles sebagai faktor penyebab keadaan sehat atau sakit. Di
dalam konsep ini disebutkan bahwa 4 elemen dalam alam seperti : tanah,
udara, air dan api pararel dengan 4 cairan tubuh yang paling berpengaruh
yakni : empedu hitam (black bile), darah (blood), cairan empedu
(yellow bile) dan dahak (phlegm). Keseimbangan dan distribusi keempat
cairan tubuh tersebut sangat penting bagi makhluk hidup.
Pengobatan yang utama menurut kaum Hippocratean (pengikut Hippocrates)
adalah digunakannya bahan-bahan yang memiliki efek purgatif (pencahar
kuat), sudorifik (meningkatkan pengeluaran keringat), emetik
(memuntahkan) dan enema (cairan urus-urus, umumnya disemprotkan ke dalam
anus). Pada intinya bahan-bahan tersebut digunakan untuk mengobati
penyakit yang dipercaya pada saat itu, disebabkan oleh kelebihan cairan
tubuh. Proses penyembuhan tersebut dikenal sebagai pembersihan,
pemurnian atau penyucian tubuh (body catharsis). Konsep ini merubah
makna kata pharmakon sebelumnya, yang mengacu kepada jimat atau
guna-guna (baik menyembuhkan atau meracuni) menjadi bahan-bahan
pembersih atau penyuci tubuh (purifying remedy).
6 Farmasi Abad Pertengahan
Pada permulaan era agama Kristen terdapat beberapa nama ilmuwan Yunani
dan Romawi yang memberikan berpengaruh terhadap perkembangan ilmu
kedokteran. Berikut ini disenaraikan beberapa nama ilmuwan yang cukup
dikenal tersebut.
Theophrastus (370-285 SM)
Penelitian besar-besaran terhadap tumbuh-tumbuhan (terutama untuk
pengobatan) di dunia Barat pertama kali dilakukan oleh Theophrastus (
370-285 sebelum Masehi), salah seorang murid Aristoteles. Dia
mengumpulkan berbagai informasi dari para sarjana, bidan, pencari
akar-akaran dan dokter keliling. Pengetahuannya baru bisa disamai 300
tahun kemudian oleh Dioscorides 3.
Dioscorides (Th 65 M)
Dioscorides adalah dokter Yunani yang juga sebagai ahli botani,
merupakan orang pertama yang menggunakan ilmu tumbuh-tumbuhan sebagai
ilmu farmasi terapan. Hasil karyanya de Materia Medica Libri Quinque,
dianggap sebagai awal dari pengembangan botani farmasi dan dalam
penyelidikan bahan obat yang diperoleh secara alami. Ilmu dalam bidang
ini dikenal sebagai farmakognosi (pharmakon = obat, dan gnosis =
pengetahuan). Banyak sekali obat-obatan yang ditemukannya seperti
aspidium, opium, hyoscyamus dan kina masih digunakan sebagai obat sampai
sekarang. Uraiannya tentang cara pengenalan dan pengumpulan hasil obat
alami, cara penyimpanan yang benar dan cara mengenal pemalsuan atau
pengotoran merupakan standar pada masa itu serta menjadi kebutuhan untuk
pekerjaan selanjutnya dan sebagai petunjuk untuk peneliti berikutnya
2. De Materia Medica merupakan ensiklopedi obat standar selama ratusan
tahun berikutnya 3.
Pliny
Pliny adalah seorang jenderal, duta dan diplomat Romawi yang memiliki
hobi mengumpulkan berbagai pengetahuan ilmiah selama hidupnya. Pliny
merupakan ilmuwan seangkatan dengan Dioscorides yang mempunyai minat dan
sumber yang sama. Pliny menulis ensiklopedi yang diterjemahkan sebagai
Natural History yang sebagian isinya menguraikan tentang obat.
Largus
Scribonius Largus adalah dokter Romawi yang menulis buku Compositiones
sekitar tahun 43 M yang merupakan dispensatorium yang pertama. Di dalam
naskah tersebut diuraikan berbagai simplisia (simplicia) dan campuran
berbagai simplisia/obat (composita).
Galen (131-201 M)
Melalui tulisan dan ajaran Galen, seorang dokter Yunani yang berpraktek
di Roma pada abad ke-2 Masehi, sistem pengobatan berdasarkan cairan
tubuh mencapai kemajuan selama 1500 tahun kemudian. Galen menguraikan
secara panjang lebar suatu sistem yang mengharuskan mempertahankan
keseimbangan cairan di suatu individu yang sakit dengan menggunakan
obat-obatan yang memiliki sifat berlawanan. Sebagai contoh, untuk
mengobati radang atau inflamasi (in = di dalam dan flame = api, panas)
eksternal digunakan mentimun yang bersifat dingin.
Galen telah memberikan pedoman yang bersifat rasional dan sistematis
dalam memilih obat (walaupun pada saat ini dianggap salah). Menurut
Galen, masing-masing keempat cairan tubuh memiliki sifat tertentu, yakni
: darah bersifat lembab dan hangat, dahak (yang dianggap berasal dari
otak) bersifat lembab dan dingin, empedu (yang dianggap berasal dari
hati) bersifat hangat dan kering, serta empedu hitam (yang dianggap
berasal dari limpa dan lambung) bersifat dingin dan kering. Selain itu,
keempat cairan tubuh tersebut mempengaruhi sistem metabolisme dan
temperamen seseorang, seperti melankolis atau sanguinis. Hubungan
tersebut dapat dilihat pada gambar 5. Dengan mengaitkan antara penyakit
yang diobservasi dengan ketidakseimbangan cairan tubuh tertentu,
obat-obatan dapat diklasifikasikan berdasarkan efek berlawanan yang
ditimbulkan terhadap suatu penyakit. Sebagai contoh, jika dianggap
bagian tubuh yang sakit bersifat lebih hangat 10 satuan dan lebih kering
7 satuan dari normal, maka obat yang diberikan di permukaan tubuh
harus bersifat lebih dingin 10 satuan dan lebih lembab 7 satuan dari
normal. Jika bagian yang sakit letaknya lebih dalam, dibutuhkan
penyesuaian dosis agar obat tidak kehilangan kekuatannya sebelum
mencapai target pengobatan.
Selain itu, Galen telah mengenalkan teknik “perdarahan”, yakni
mengurangi volume darah yang dianggap banyak mengandung penyakit. Teknik
ini diadopsi oleh orang-orang Islam pada jaman berikutnya yang dikenal
sebagai bekam atau pengobatan Nabi (prophetic medicine). Teknik ini
masih dipakai dalam sistem pengobatan Unani (Unani Arabic Medicine)
sampai saat ini. Galen juga menyarankan penggunaan polifarmasi (banyak
obat, sekarang dikenal sebagai “Shotgun Prescription”) dengan argumen
tubuh pasien akan mengeluarkan berbagai obat yang kompleks tersebut
untuk menjaga keseimbangkan cairan tubuh 3. Saat ini polifarmasi dikenal
sebagai pengobatan yang tidak rasional. Meski demikian, Galen telah
menciptakan suatu sistem yang sempurna mengenai fisiologi, patologi dan
pengobatan serta merumuskan doktrin yang diikuti selama 1500 tahun. Dia
adalah pengarang yang memiliki karya paling banyak di jamannya maupun
jaman lain dan telah mendapat penghargaan untuk 500 buku tentang
kedokteran serta 250 buku lainnya tentang filsafat, hukum maupun tata
bahasa. Karya tulisnya dalam ilmu kedokteran termasuk uraian berbagai
obat-obatan yang berasal dari alam dengan formula dan cara pembuatannya.
Dialah orang pertama yang memperkenalkan teknik mencampur atau melebur
masing-masing bahan. Teknik ini kemudian dikenal sebagai farmasi
Galenik.
Sampai dengan awal abad VI era Kristen, belum terdapat kemajuan ilmu
pengetahuan yang berarti bagi peradaban manusia hingga pada abad XII dan
XIII beberapa ilmuwan Islam memberikan sumbangsih yang besar terhadap
perkembangan ilmu kedokteran dan kefarmasian sampai dengan era
berikutnya. Ilmuwan dan filsuf Islam (Arab) tidak hanya mengadopsi ilmu
pengobatan dan ilmu pengetahuan Yunani tetapi juga melengkapi,
menyempurnakan dan bahkan mengoreksi naskah-naskah ilmuwan Yunani
sebelumnya. Pada masa kejayaan Islam terdapat beberapa nama yang
memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu
kefarmasian. Berikut ini akan diuraikan beberapa ilmuwan Islam yang
karya-karyanya sangat mempengaruhi perkembangan ilmu kefarmasian
berikutnya.
Al-Biruni (Abad XI)
Al-Biruni telah menyusun Materia Medika yang mendeskripsikan lebih dari
1000 macam simplisia. Selain melengkapi dan memperbaiki naskah Materia
Medika Dioscorides, Al-Biruni telah menambah dan menguraikan berbagai
jenis simplisia yang berasal dari Timur. Pada saat itu ilmu farmasi
merupakan cabang ilmu kedokteran dengan keahlian khusus, yakni pembuatan
dan penyiapan obat-obatan (simplisia).
Ibnu Sina (Latin : Avicenna th 1037 M)
Ibnu Sina telah menyusun buku yang berjudul Qonun fi Al-Tibh yang
dikenal di dunia Barat sebagai Canon Medicine. Buku tersebut menguraikan
760 jenis obat secara komprehensif. Salah satu jenis obat yang
diuraikan adalah obat jantung, yang saat itu belum banyak dibahas
ilmuwan lain. Ibnu Sina merupakan Bapak Kedokteran Islam yang dihormati
baik di dunia Timur dan Barat, seperti halnya ilmuwan Islam lainnya
yang memberikan pengaruh ilmu kedokteran selama beberapa abad lamanya.
Praktek Kefarmasian
Pada jaman berikutnya Islam menjadi pusat ilmu pengetahuan pada umumnya
dan menjadi pusat ilmu kedokteran dan kefarmasian pada khususnya yang
terletak di kota Baghdad, Iraq. Pada saat itu Baghdad merupakan kota
metropolis yang menjadi pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan.
Toko-toko obat, rempah-rempah dan parfum banyak bermunculan di jantung
kota, demikian juga praktek-praktek dengan spesialisasi tertentu juga
banyak bermunculan seperti halnya rhizotomii (pengumpul dan ahli rimpang
atau jahe-jahean), seplasiarii (ahli parfum atau wangi-wangian) dan
unguentarii (ahli salep) pada jaman Yunani kuno. Pada saat itu dikenal
istilah Al-Attar, yakni orang yang ahli dalam rempah-rempah dan
wangi-wangian. Di antara berbagai praktisi tersebut dikenal praktisi
pengobatan yang terdidik yang disebut Sayadilah. Sayadilah mendapatkan
ijin praktek khusus obat-obatan dari Muhtasib (penguasa setempat).
Mereka memiliki toko untuk menjual simplisia obat (Apotek), kebun
Materia Medika sebagai bahan baku simplisia obat serta laboratorium
untuk meracik sediaan obat seperti halnya pil, plester atau sediaan
galenika. Pada saat itu ilmu kefarmasian merupakan seni mengetahui
Materia Medika dalam berbagai jenis dan bentuk. Sayadilah merupakan
cikal bakal profesi farmasis (Apoteker) saat ini.
DAFTAR PUSTAKA :
1. Suriasumantri, J.S., 2002, Filsafat Ilmu-Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, hal. 19-253.
2. Miller, G., 2004. History of Pharmacy-A Look Back at The Past and A
Vision For The Future, Pharmaceutical Society of Australia’s Home Page.
3. Sonnedecker, G. (rev.), 1976, Kremer and Urdang’s History of
Pharmacy, Fourth edition, Philadelphia-Toronto, J.B. Lippincot Company.
4. Higby, G.J., 2000, Evolution of Pharmacy, in : Gennaro, A.R. (Eds.).
Remington : The Science and Practice of Pharmacy, 20th ed,
Baltimore-Philadelphia, Lippincot Williams & Wilkins., p. 7-10.
5. Bender, G.A., 1965. A History of Pharmacy in Pictures, Parke & Davis Company.
6. Nanizar, Z.J., 2001. Ars Prescribendi-Resep yang Rasional, Surabaya : Airlangga University Press.